Wahai orang yang berakal, adakah kehidupan Allah akan berakhir? Adakah hubungan dengan Allah akan menemui titik penghabisan? Hubungan dengan Ar-Rafiqul A’la itu sesungguhnya merupakan kehidupan itu sendiri.
Dalam haji wada’nya (haji perpisahan), Rasulullah SAW berkhutbah di hadapan sekitar 120.000 orang, “Wahai manusia, dengar dan perhatikanlah, sesungguhnya aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian selepas tahun ini.”
Semuanya terdiam, sambil mendengarkan kata demi kata yang diucapkan Rasulullah SAW.
Beliau menasihati dan berwasiat kepada mereka tentang keterikatan mereka dengan Tuhan dan agama mereka. Ketika itu Allah menurunkan ayat, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.”
Allah menghidupkan makna kehidupan yang dahsyat di tengah-tengah mereka, dalam suasana perpisahan dengan Rasulullah SAW. Saat itu, perpisahan dengan beliau adalah sebuah sisi kehidupan bagi umatnya setelah itu. Kemudian Rasulullah SAW pun pulang ke kota Madinah.
Bulan Rabi’ul Awwal tiba.
Di awal bulan itu, tubuh Rasulullah SAW terasa lemah. Beliau terserang sakit demam. Tubuhnya pun disirami air sejuk. Beliau bersabda, “Siramilah aku dengan air supaya aku dapat keluar untuk mengucapkan salam perpisahan dengan para sahabatku.”
Baginda pun disirami air itu, yang membuat tubuhnya terasa lebih segar.
Kemudian beliau keluar rumah, melangkahkan kakinya dengan diiringi kedua sepupunya, Ali bin Abu Thalib dan Fadhl bin Abbas, radhiyallahu ‘anhuma.
Beliau menemui para sahabat.
Saat melihat hadirnya Rasulullah SAW di tengah-tengah mereka, tampak betapa kegembiraan menyemburat dari wajah para sahabat.
Kemudian Rasulullah SAW duduk di atas mimbarnya.
Para sahabat terdiam, bersiap untuk mendengarkan segala apa yang akan diucapkan Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW pun berkhutbah, khutbah perpisahan. Beliau bersabda, “Seseorang telah diberi pilihan, antara kehidupan di dunia atau menjumpai Ar-Rafiqul A’la (“Sahabat Teragung”, Allah SWT).”
Rasulullah SAW pun kemudian mengulang-ulang kata itu, “Ar-Rafiqul A’la, Ar-Rafiqul A’la, Ar-Rafiqul A’la…”
Wahai orang yang berakal, adakah kehidupan Allah akan berakhir? Adakah hubungan dengan Allah akan menemui titik penghabisan? Hubungan dengan Ar-Rafiqul A’la itu sesungguhnya merupakan kehidupan itu sendiri. Ucapan Rasulullah SAW itu menandakan bahwa ia memilih kehidupan yang sejati.
Bagaimana para sahabat dan keluarga Nabi menyikapi perpisahan dengan manusia yang paling mereka cintai itu? Apa saja wasiat-wasiat Rasulullah SAW, apa pesan terakhir beliau? Bagiamana Malaikat Maut bersikap ketika hendak mencabut nyawa Nabi?
Senin, 25 April 2011
Habib Alwi bin Abdullah Alaydrus: Ikhlas sebagai Tujuan…
Memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara."
Di sela-sela kepadatan jadwal kunjungan dakwahnya di Indonesia, tokoh muda yang menjadi salah satu sayap dakwah Habib Umar Bin Hafidz, yang menjadi figur kita kali ini, menyempatkan diri bertandang ke kantor alKisah. Dialah Habib Alwi bin Abdullah bin Husein Alaydrus.
Ditemani Habib Hamid Al-Qadri, Habib Alwi berbagi cerita. Meskipun tak banyak yang bisa dikisahkannya, karena sempit dan terbatasnya waktu, tatap muka singkat itu sudah dapat melukiskan secara utuh kedalaman ilmu dan wawasan pemikirannya meski di usianya yang masih sangat muda.
Habib Alwi lahir di Bandar Syihir pada tahun 1979 M/1399 H. Pertama kali belajar ilmu syari’at ia dapatkan dari masjid ke masjid. Ia belajar Al-Quran dari Sayyid Salim bin Sa`id Bada`ud. Selain belajar Al-Quran, ia juga sudah menghafal secara intens beberapa matan penting dalam khazanah keilmuan syari’ah, di antaranya matan kitab, karya Syaikh Ibnu Ruslan, dan Aqidah Al-`Awam, karya Syaikh Ahmad Marzuqi. Pada kala itu ia baru menginjak usia kurang dari tujuh tahun.
Setelah itu ia terus menggeluti ilmu-ilmu syari’ah dan banyak menerima ijazah dari guru-guru besar Hadramaut, di antaranya Syaikh Abdul Karim bin Abdul Qadir Al-Mallah, mufti Syihir, Sayyid Ali Masyhur bin Muhammad Bin Hafizh, mufti Tarim, dan Syaikh Salim bin Khamis Al-Habli, ulama besar yang menjadi rujukan banyak ahli ilmu. Dari dan kepada mereka Habib Alwi membaca, antara lain, kitab Al-Yaqut An-Nafis, karya Sayyid Ahmad bin Umar Asy-Syathiri Al-Husaini, dan kitab Tanwir Al-Qulub fi Mu`amalah `Allam Al-Ghuyub, karya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi.
Setelah Habib Umar Bin Hafidz mendirikan Darul Musthafa pada tahun 1417 H/1996 M, barulah Habib Alwi mengambil silsilah keilmuan dari Habib Umar Bin Hafizh dan ulama-ulama terkemuka lainnya yang ikut terlibat di Darul Musthafa.
Selain menyelami ilmu di Darul Musthafa, Habib Alwi juga telah menamatkan studi formal strata satunya dari Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hadhramaut, Fakultas Tarbiyah, tahun 2002.
Saat ini, dalam usianya yang masih sangat muda, Habib Alwi dipercaya mengemban jabatan ketua Divisi Halaqah dan Kajian Ilmu Darul Musthafa, yang membawahkan semua halaqah keilmuan yang berpusat di masjid-masjid, baik di dalam maupun di luar Hadhramaut, yang berada di bawah payung Darul Mushthafa.
Yang menarik, dalam setiap halaqah yang diadakan di masjid-masjid tersebut terdapat metodologi dan kurikulum tersendiri dengan materi kitab-kitabnya. Di antara kitab-kitab yang menjadi materi pokoknya adalah kitab Risalah Al-Jami’ah, Safinah An-Najah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyah, Matn Abi Syuja’, Al-Yakut An-Nafis, Umdah As-Salikin, Aqidah Al-`Awam, Al-`Aqidah (karya Imam Haddad), Durus At-Tauhid, Jauhar At-Tawhid, Al-Ajurumiyah, Mutammimah Al-Ajurumiyah, Qatr An-Nada, Mukhtar Al-Ahadits, Al- Arba’in An-Nawawiyyah, Nur Al-Iman, Mukhtar Riyad Ash-Shalihin.
Masa belajar pada halaqah-halaqah tersebut selama dua belas tahun, tiap-tiap tingkatan mamakan waktu selama satu tahun. Selain itu, pada halaqah-halaqah yang ada diterapkan pula ujian-ujian secara berkala berdasarkan kurikulum yang ada.
Satu hal lagi yang perlu ditiru, semua kegiatan pembelajaran yang padat dan berbobot tersebut sama sekali tidak dipungut biaya. Bahkan, "Habib Umar Bin Hafidz bila memberikan ceramah atau taushiyah di suatu tempat hanya diberi kopi," ujar Habib Ubaidillah Al-Habsyi, salah satu alumnus Darul Musthafa yang turut hadir di alKisah pada saat itu, menceritakan pengalamannya selama berada di Hadhramaut. Demikianlah contoh yang diberikan oleh Habib Umar dalam mendidik umat dan mengajak mereka ke jalan Allah. Bilapun ada peserta halaqah yang memberi infaq, itu pun hanya beberapa dan sangat kecil nilainya, sekitar 50 sampai 100 ribu.
"Dengan keikhlasan, kegiatan semacam itu akan terus dilaksanakan, baik ada dana maupun tidak. Karena, memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara," kata Habib Alwi.
Produktif Menulis
Selain sebagai ketua Halaqah Ilmu Darul Musthafa, ia juga aktif sebagai salah satu ketua forum kajian keilmuan syari’ah di kota Syihir. Dan meski kesibukannya sangat padat dalam dakwah dan keilmuan, Habib Alwi termasuk tokoh muda yang sangat produktif menulis karya-karya yang dibutuhkan umat. Di antara yang sudah ditulisnya adalah kitab Syarh Al-Warif `ala Al-Mukhtashar Al-Lathif, yang merupakan syarah atas kitab yang lebih dikenal dengan nama Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal, Irsyad Al-Anam ila Ahkam As-Salam, Risalah At-Tilifun wa Ahkamuh, Ad-Dalail Al-Wudhuh fi Qunut Ash-Shubh, Al-Hamzah fi Sharf, Syarh Al-Qawl Al-Mubin fi Tajhiz Amwat Al-Muslimin.
Ada satu pengalaman ruhani yang sangat menarik bagi Habib Alwi, sebagaimana penuturan Habib Hamid Alqadri menukil dari keterangan Habib Alwi. Habib Alwi menceritakan, tatkala menulis kitabnya yang berjudul Al-Manhal Al-Warif, yang merupakan syarah atas kitab Al-Mukhtashar Al-Latif, ia mendapat banyak kritikan dari beberapa orang yang menganggap bahwa mengarang kitab seperti itu hanya membuang energi, sebab kitab-kitab semacam itu telah banyak ditulis oleh orang lain.
Kata-kata itu spontan membuatnya patah semangat, dan ia pun membiarkan kertas-kertas yang berisikan tulisan kitab Al-Manhal Al-Warif tersebut berserakan begitu saja, yang waktu itu masih belum rampung. Dalam keadaan sedih dan bingung itu, Habib Alwi merebahkan diri di antara lembaran-lembaran kertas tersebut hingga akhirnya terlelap.
Dalam kondisi seperti itu, Habib Alwi bermimpi. Ia mendengar telepon berdering dan ia pun segera mengangkatnya dan menanyakan siapa yang menelepon.
"Siapa Anda?"
"Umar Bin Hafidz! Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis itu, ayo baca! Saya ingin mendengarnya.”
Kontan kejadian itu membuatnya bingung dan ia segera mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan tadi.
Sementara ia masih dalam kondisi bingung, tiba-tiba telepon berdering kembali dan Habib Alwi mengangkatnya kembali.
"Siapa Anda?”
"Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal (pengarang kitab Al-Mukhtashar). Coba engkau baca kitabmu itu!"
Habib Alwi semakin bingung, dan telepon kembali berdering.
Setelah telepon diangkat dan ditanyakan, penelpon itu menjawab bahwa ia adalah Muhammad bin Idris Asyafi`i (Imam Syafii). Imam Syafi`i juga meminta hal yang sama.
Kepanikan Habib Alwi semakin bertambah tatkala untuk kesekian kalinya telepon berdering. Seperti sebelumnya ia pun mengangkat telepon tersebut dan bertanya, "Anda siapa?"
"Kakekmu, Muhammad SAW. Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis, ayo baca! Aku ingin mendengarnya."
Seketika Habib Alwi terbangun dan menata kembali lembaran-lembaran yang tadinya berserakan.
Keesokan harinya Habib Alwi berjumpa salah seorang shalih yang tinggal di Syihir. Dengan tanpa diduga-duga, orang itu menegor dirinya.
"Alwi, kenapa engkau menunggu sampai Nabi menegurmu dalam melanjutkan karanganmu itu?"
Habib Alwi sangat kaget dengan pernyataan orang itu, sebab mimpi yang dialaminya malam itu tidak diceritakan pada siapa pun.
Maka setelah kejadian itu, semangat Habib Alwi kembali bangkit untuk merampungkan kitab tersebut.
Setelah penulisan kitab itu selesai dan ia pindah ke kota Tarim, ia bertemu Habib Salim Asy-Syathiri. Ia pun memperlihatkan hasil karyanya itu kepada Habib Salim. Dalam perbincangan itu, ia ceritakan mimpi yang pernah dialaminya.
Mendengar semua itu, Habib Salim menganjurkan agar mimpi itu juga dituliskan pada pembukaan kitab tersebut. Namun, saran itu belum bisa ia lakukan karena beberapa hal.
Safari Dakwah
Selama kurang lebih 17 hari berkunjung di Indonesia, Habib Alwi mengadakan safari dakwah di beberapa kota besar di Indonesia. Di Jakarta, Habib Alwi mengikuti semua majelis yang dikunjungi Habib Umar Bin Hafidz, di samping menghadiri halaqah yang diadakan dan diprakarsai oleh Telkom Pusat di Jln. Gatot Subroto. Di Situbondo, Habib Alwi menjadi pembicara pada seminar “Aqidah Ahlussunnah” yang diselenggarakan Universitas Al-Ibrahimi, dilanjutkan dengan pertemuan di Masjid Awwabin, Bondowoso. Setelah itu ia menghadiri haul Imam Faqih Muqaddam, Muhammad bin Ali Al-Husaini, di majelis Tarekat Alawiyyah Naqsyabandiyyah wa Muhsiniyyah, Bondowoso, pimpinan Habib Haidarah bin Muhsin Al-Hinduan, alumnus angkatan pertama Darul Musthafa. Kemudian Habib Alwi melanjutkan safari dakwahnya ke Banjarmasin, Palangkaraya, Sampit, dan Pangkalan Bun dalam rangka menghadiri Haul Imam Faqih Muqaddam.
Setelah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya ke Ketapang dan Pontianak untuk mengikuti haul Imam Al-Muhajir, Ahmad bin Isa Al-Husaini.
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Habib Alwi mendapat undangan untuk menjadi narasumber program dakwah di stasiun TV Banjar.
Dalam dakwah, Habib Alwi memiliki pandangan yang tidak berbeda dengan pendahulu dan salah satu guru utamanya, Habib Umar Bin Hafidz. At-Tawassuth, moderat, dalam dakwah adalah jalan paling utama menurutnya dalam meniti jalur dakwah, mengajak manusia ke jalan Allah.
Menurut Habib Alwi, tidak seorang pun diperkenankan oleh syari’at untuk memaksakan seseorang untuk melazimi hukum syari’at, kecuali seorang hakim yang secara sah diangkat oleh pemerintah. Karena, bila setiap orang merasa berhak untuk memaksa orang lain, pastilah setiap orang akan merasa berhak menghakimi orang lain tatkala orang lain itu berbeda pandangan dengan pemikirannya. Bila hal ini terjadi, bukan amar ma`ruf nahi munkar yang diperintahkan syari’at yang ada, melainkan amar wan nahyu bil munkar, memerintah dan melarang yang dilakukan dengan jalan kemunkaran, itu yang terjadi. Dan itu jelas dilarang oleh syari’at.
Wallahu`alam bish-shawab.
Di sela-sela kepadatan jadwal kunjungan dakwahnya di Indonesia, tokoh muda yang menjadi salah satu sayap dakwah Habib Umar Bin Hafidz, yang menjadi figur kita kali ini, menyempatkan diri bertandang ke kantor alKisah. Dialah Habib Alwi bin Abdullah bin Husein Alaydrus.
Ditemani Habib Hamid Al-Qadri, Habib Alwi berbagi cerita. Meskipun tak banyak yang bisa dikisahkannya, karena sempit dan terbatasnya waktu, tatap muka singkat itu sudah dapat melukiskan secara utuh kedalaman ilmu dan wawasan pemikirannya meski di usianya yang masih sangat muda.
Habib Alwi lahir di Bandar Syihir pada tahun 1979 M/1399 H. Pertama kali belajar ilmu syari’at ia dapatkan dari masjid ke masjid. Ia belajar Al-Quran dari Sayyid Salim bin Sa`id Bada`ud. Selain belajar Al-Quran, ia juga sudah menghafal secara intens beberapa matan penting dalam khazanah keilmuan syari’ah, di antaranya matan kitab, karya Syaikh Ibnu Ruslan, dan Aqidah Al-`Awam, karya Syaikh Ahmad Marzuqi. Pada kala itu ia baru menginjak usia kurang dari tujuh tahun.
Setelah itu ia terus menggeluti ilmu-ilmu syari’ah dan banyak menerima ijazah dari guru-guru besar Hadramaut, di antaranya Syaikh Abdul Karim bin Abdul Qadir Al-Mallah, mufti Syihir, Sayyid Ali Masyhur bin Muhammad Bin Hafizh, mufti Tarim, dan Syaikh Salim bin Khamis Al-Habli, ulama besar yang menjadi rujukan banyak ahli ilmu. Dari dan kepada mereka Habib Alwi membaca, antara lain, kitab Al-Yaqut An-Nafis, karya Sayyid Ahmad bin Umar Asy-Syathiri Al-Husaini, dan kitab Tanwir Al-Qulub fi Mu`amalah `Allam Al-Ghuyub, karya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi.
Setelah Habib Umar Bin Hafidz mendirikan Darul Musthafa pada tahun 1417 H/1996 M, barulah Habib Alwi mengambil silsilah keilmuan dari Habib Umar Bin Hafizh dan ulama-ulama terkemuka lainnya yang ikut terlibat di Darul Musthafa.
Selain menyelami ilmu di Darul Musthafa, Habib Alwi juga telah menamatkan studi formal strata satunya dari Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hadhramaut, Fakultas Tarbiyah, tahun 2002.
Saat ini, dalam usianya yang masih sangat muda, Habib Alwi dipercaya mengemban jabatan ketua Divisi Halaqah dan Kajian Ilmu Darul Musthafa, yang membawahkan semua halaqah keilmuan yang berpusat di masjid-masjid, baik di dalam maupun di luar Hadhramaut, yang berada di bawah payung Darul Mushthafa.
Yang menarik, dalam setiap halaqah yang diadakan di masjid-masjid tersebut terdapat metodologi dan kurikulum tersendiri dengan materi kitab-kitabnya. Di antara kitab-kitab yang menjadi materi pokoknya adalah kitab Risalah Al-Jami’ah, Safinah An-Najah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyah, Matn Abi Syuja’, Al-Yakut An-Nafis, Umdah As-Salikin, Aqidah Al-`Awam, Al-`Aqidah (karya Imam Haddad), Durus At-Tauhid, Jauhar At-Tawhid, Al-Ajurumiyah, Mutammimah Al-Ajurumiyah, Qatr An-Nada, Mukhtar Al-Ahadits, Al- Arba’in An-Nawawiyyah, Nur Al-Iman, Mukhtar Riyad Ash-Shalihin.
Masa belajar pada halaqah-halaqah tersebut selama dua belas tahun, tiap-tiap tingkatan mamakan waktu selama satu tahun. Selain itu, pada halaqah-halaqah yang ada diterapkan pula ujian-ujian secara berkala berdasarkan kurikulum yang ada.
Satu hal lagi yang perlu ditiru, semua kegiatan pembelajaran yang padat dan berbobot tersebut sama sekali tidak dipungut biaya. Bahkan, "Habib Umar Bin Hafidz bila memberikan ceramah atau taushiyah di suatu tempat hanya diberi kopi," ujar Habib Ubaidillah Al-Habsyi, salah satu alumnus Darul Musthafa yang turut hadir di alKisah pada saat itu, menceritakan pengalamannya selama berada di Hadhramaut. Demikianlah contoh yang diberikan oleh Habib Umar dalam mendidik umat dan mengajak mereka ke jalan Allah. Bilapun ada peserta halaqah yang memberi infaq, itu pun hanya beberapa dan sangat kecil nilainya, sekitar 50 sampai 100 ribu.
"Dengan keikhlasan, kegiatan semacam itu akan terus dilaksanakan, baik ada dana maupun tidak. Karena, memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara," kata Habib Alwi.
Produktif Menulis
Selain sebagai ketua Halaqah Ilmu Darul Musthafa, ia juga aktif sebagai salah satu ketua forum kajian keilmuan syari’ah di kota Syihir. Dan meski kesibukannya sangat padat dalam dakwah dan keilmuan, Habib Alwi termasuk tokoh muda yang sangat produktif menulis karya-karya yang dibutuhkan umat. Di antara yang sudah ditulisnya adalah kitab Syarh Al-Warif `ala Al-Mukhtashar Al-Lathif, yang merupakan syarah atas kitab yang lebih dikenal dengan nama Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal, Irsyad Al-Anam ila Ahkam As-Salam, Risalah At-Tilifun wa Ahkamuh, Ad-Dalail Al-Wudhuh fi Qunut Ash-Shubh, Al-Hamzah fi Sharf, Syarh Al-Qawl Al-Mubin fi Tajhiz Amwat Al-Muslimin.
Ada satu pengalaman ruhani yang sangat menarik bagi Habib Alwi, sebagaimana penuturan Habib Hamid Alqadri menukil dari keterangan Habib Alwi. Habib Alwi menceritakan, tatkala menulis kitabnya yang berjudul Al-Manhal Al-Warif, yang merupakan syarah atas kitab Al-Mukhtashar Al-Latif, ia mendapat banyak kritikan dari beberapa orang yang menganggap bahwa mengarang kitab seperti itu hanya membuang energi, sebab kitab-kitab semacam itu telah banyak ditulis oleh orang lain.
Kata-kata itu spontan membuatnya patah semangat, dan ia pun membiarkan kertas-kertas yang berisikan tulisan kitab Al-Manhal Al-Warif tersebut berserakan begitu saja, yang waktu itu masih belum rampung. Dalam keadaan sedih dan bingung itu, Habib Alwi merebahkan diri di antara lembaran-lembaran kertas tersebut hingga akhirnya terlelap.
Dalam kondisi seperti itu, Habib Alwi bermimpi. Ia mendengar telepon berdering dan ia pun segera mengangkatnya dan menanyakan siapa yang menelepon.
"Siapa Anda?"
"Umar Bin Hafidz! Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis itu, ayo baca! Saya ingin mendengarnya.”
Kontan kejadian itu membuatnya bingung dan ia segera mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan tadi.
Sementara ia masih dalam kondisi bingung, tiba-tiba telepon berdering kembali dan Habib Alwi mengangkatnya kembali.
"Siapa Anda?”
"Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal (pengarang kitab Al-Mukhtashar). Coba engkau baca kitabmu itu!"
Habib Alwi semakin bingung, dan telepon kembali berdering.
Setelah telepon diangkat dan ditanyakan, penelpon itu menjawab bahwa ia adalah Muhammad bin Idris Asyafi`i (Imam Syafii). Imam Syafi`i juga meminta hal yang sama.
Kepanikan Habib Alwi semakin bertambah tatkala untuk kesekian kalinya telepon berdering. Seperti sebelumnya ia pun mengangkat telepon tersebut dan bertanya, "Anda siapa?"
"Kakekmu, Muhammad SAW. Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis, ayo baca! Aku ingin mendengarnya."
Seketika Habib Alwi terbangun dan menata kembali lembaran-lembaran yang tadinya berserakan.
Keesokan harinya Habib Alwi berjumpa salah seorang shalih yang tinggal di Syihir. Dengan tanpa diduga-duga, orang itu menegor dirinya.
"Alwi, kenapa engkau menunggu sampai Nabi menegurmu dalam melanjutkan karanganmu itu?"
Habib Alwi sangat kaget dengan pernyataan orang itu, sebab mimpi yang dialaminya malam itu tidak diceritakan pada siapa pun.
Maka setelah kejadian itu, semangat Habib Alwi kembali bangkit untuk merampungkan kitab tersebut.
Setelah penulisan kitab itu selesai dan ia pindah ke kota Tarim, ia bertemu Habib Salim Asy-Syathiri. Ia pun memperlihatkan hasil karyanya itu kepada Habib Salim. Dalam perbincangan itu, ia ceritakan mimpi yang pernah dialaminya.
Mendengar semua itu, Habib Salim menganjurkan agar mimpi itu juga dituliskan pada pembukaan kitab tersebut. Namun, saran itu belum bisa ia lakukan karena beberapa hal.
Safari Dakwah
Selama kurang lebih 17 hari berkunjung di Indonesia, Habib Alwi mengadakan safari dakwah di beberapa kota besar di Indonesia. Di Jakarta, Habib Alwi mengikuti semua majelis yang dikunjungi Habib Umar Bin Hafidz, di samping menghadiri halaqah yang diadakan dan diprakarsai oleh Telkom Pusat di Jln. Gatot Subroto. Di Situbondo, Habib Alwi menjadi pembicara pada seminar “Aqidah Ahlussunnah” yang diselenggarakan Universitas Al-Ibrahimi, dilanjutkan dengan pertemuan di Masjid Awwabin, Bondowoso. Setelah itu ia menghadiri haul Imam Faqih Muqaddam, Muhammad bin Ali Al-Husaini, di majelis Tarekat Alawiyyah Naqsyabandiyyah wa Muhsiniyyah, Bondowoso, pimpinan Habib Haidarah bin Muhsin Al-Hinduan, alumnus angkatan pertama Darul Musthafa. Kemudian Habib Alwi melanjutkan safari dakwahnya ke Banjarmasin, Palangkaraya, Sampit, dan Pangkalan Bun dalam rangka menghadiri Haul Imam Faqih Muqaddam.
Setelah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya ke Ketapang dan Pontianak untuk mengikuti haul Imam Al-Muhajir, Ahmad bin Isa Al-Husaini.
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Habib Alwi mendapat undangan untuk menjadi narasumber program dakwah di stasiun TV Banjar.
Dalam dakwah, Habib Alwi memiliki pandangan yang tidak berbeda dengan pendahulu dan salah satu guru utamanya, Habib Umar Bin Hafidz. At-Tawassuth, moderat, dalam dakwah adalah jalan paling utama menurutnya dalam meniti jalur dakwah, mengajak manusia ke jalan Allah.
Menurut Habib Alwi, tidak seorang pun diperkenankan oleh syari’at untuk memaksakan seseorang untuk melazimi hukum syari’at, kecuali seorang hakim yang secara sah diangkat oleh pemerintah. Karena, bila setiap orang merasa berhak untuk memaksa orang lain, pastilah setiap orang akan merasa berhak menghakimi orang lain tatkala orang lain itu berbeda pandangan dengan pemikirannya. Bila hal ini terjadi, bukan amar ma`ruf nahi munkar yang diperintahkan syari’at yang ada, melainkan amar wan nahyu bil munkar, memerintah dan melarang yang dilakukan dengan jalan kemunkaran, itu yang terjadi. Dan itu jelas dilarang oleh syari’at.
Wallahu`alam bish-shawab.
Minggu, 24 April 2011
Habib Zain bin Abdullah Al Aidrus (1289 – 1399 H)
Kelahiran dan masa kecil beliau Habib Zain bin Abdullah Al-Aidrus, beliau dilahirkan di daerah As-Suweiry (dekat kota Tarim), Hadramaut, pada tahun 1289 H. Ayah beliau Al-Habib Abdullah, berasal dari kota Tarim, dan kemudian berhijrah ke kota As-Suweiry dengan beberapa teman beliau atas perintah Al-Imam Al-Habib Thahir bin Husin Bin Thahir Ba’alawy untuk mengawasi gencatan senjata antar kabilah yang terjadi di kota tersebut.
Nasab beliau bersandar pada silsilah dzahabiyyah, bersambung dari ayah ke kakek, sampai akhirnya bertemu dengan kakek beliau yang termulia Rasulullah SAW. Adapun perinciannya, beliau adalah:
Al-Habib Al-Allamah Zain bin Abdullah bin Alwi bin Umar bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ali bin Abdullah bin Ahmad Ash-Shalaibiyyah bin Husin bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al-Aidrus bin Abu Bakar As-Sakran bin Abdur Rahman As-Saggaf bin Muhammad Maulad Dawilah bin Ali Shahib Ad-Dark bin Alwi bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa bin Ali Al-’Uradhy bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin, putri Sayyidah Fatimah binti Rasulullah SAW.
Beliau Al-Habib Zain tumbuh dalam suatu keluarga yang penuh keutamaan, ilmu dan akhlak, mencontoh keluarga datuk beliau Rasulullah SAW. Al-Habib Abdullah, ayah beliau, mencurahkan perhatian yang lebih kepada beliau diantara saudara-saudaranya, karena selain beliau adalah anak yang terakhir, juga beliau adalah anak yang berperilaku yang mulia dan berhati bersih. Dan sungguh Al-Habib Abdullah melihat dengan firasat tajamnya bahwa putra beliau yang satu ini akan menjadi seorang yang mempunyai hal (keadaan) yang tinggi di suatu masa mendatang.
Beliau Al-Habib Zain tumbuh dewasa dan dicintai oleh keluarganya dan masyarakat As-Suweiry. Beliau habiskan masa kecil beliau dengan penuh kezuhudan dan ibadah. Beliau semenjak kecilnya gemar sekali menjaga kewajiban shalat dan menunaikan shalat-shalat sunnah. Suatu kegemaran yang jarang sekali dipunyai oleh anak-anak sebaya beliau.
Perjalanan hijrah beliau
Pada tahun 1301 H, beliau melakukan perjalanan hijrah ke Indonesia, disertai saudara-saudaranya Alwi, Ahmad dan Ali. Pada saat itu beliau masih berusia 12 tahun. Di Indonesia beliau bertemu dengan pamannya Al-Allamah Al-Habib Muhammad bin Alwi Al-Aidrus yang sudah terlebih dahulu menetap disana.
Masa belajar beliau
Sebelum beliau berhijrah ke Indonesia, beliau banyak mengambil ilmu dari keluarganya, dan juga dari para ulama di tempat asalnya Hadramaut, yang memang terkenal pada saat itu dengan negeri yang penuh dengan ulama-ulama besar. Dari daerah tersebut, beliau banyak mengambil berbagai macam ilmu-ilmu agama.
Setelah berada di Indonesia, beliau menuntut ilmu kepada pamannya Al-Habib Muhammad. Setelah dirasakan cukup, beliau Al-Habib Zain dikirim oleh pamannya untuk menuntut ilmu kepada salah seorang mufti terkenal di Indonesia saat itu, yaitu Al-Habib Al-Faqih Al-Allamah Utsman bin Abdullah Bin Yahya. Guru beliau Al-Habib Utsman Bin Yahya merupakan salah seorang tokoh agama yang cukup mumpuni di bidang fiqih dan ilmu-ilmu keislaman saat itu. Banyak diantara para murid Al-Habib Utsman yang menjadi ulama-ulama besar, seperti Al-Habib Ali bin Abdur Rahman Alhabsyi, Kwitang.
Hiduplah beliau Al-Habib Zain dibawa didikan gurunya Al-Habib Utsman Bin Yahya. Sebagaimana masa kecilnya, semangat beliau seakan tak pupus untuk belajar dengan giat dan tekun. Banyak ilmu yang diambil beliau dari gurunya, diantaranya adalah ilmu-ilmu bahasa Arab, Fiqih, Fara’idh (ilmu waris), Ushul, Falak, dan sebagainya. Beliau mengambil dari gurunya ilmu dan amal dan beliau banyak mendapatkan ijazah dari gurunya tersebut.
Masa dakwah beliau
Pada tahun 1322 H, berdirilah sebuah sekolah agama di kota Jakarta yang dinamakan Jamiat Khair. Beberapa pengurus dari sekolah itu kemudian datang kepada beliau untuk memintanya mengajar disana. Akhirnya mengajarlah beliau disana dengan kesungguhan, tanpa lelah dan bosan. Pada saat itu beliau merupakan salah seorang staf pengajar kurun waktu pertama sekolah Jamiat Khair, suatu sekolah yang banyak menghasilkan tokoh-tokoh agama dan pergerakan.
Selang beberapa tahun kemudian, beliau mendirikan sebuah sekolah kecil di jalan Gajah Mada, Jakarta. Keberadaan sekolah itu disambut dengan gembira oleh masyarakat, yang sangat butuh akan ilmu-ilmu agama. Akan tetapi sayangnya, tak selang berapa lama, dengan kedatangan Jepang, sekolah tersebut ditutup oleh penjajah Jepang.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1326 H, beliau mendirikan majlis taklim di Masjid Al-Mubarak, Krukut, Jakarta. Majlis taklim tersebut diadakan siang dan malam, dan banyak dihadiri pria dan wanita. Sepeninggal pamannya Al-Habib Muhammad, beliaulah yang menjadi khalifah-nya. Termasuk juga beliau menjadi imam di Masjid tersebut, menggantikan posisi pamannya. Di masjid itu, beliau mengajarkan ilmu-ilmu agama, diantaranya ilmu Tafsir, Fiqih, Akidah yang lurus, dan ilmu-ilmu lainnya, dengan cara yang mudah dan sederhana. Begitulah seterusnya beliau menjalankan aktivitasnya dalam berdakwah, tanpa lelah dan bosan, selama 70 tahun.
Suluk beliau
Sebagaimana thariqah yang dipegang oleh para Datuk beliau, beliau bermadzhabkan kepada Al-Imam Asy-Sy-Syafi’i dan bersandarkan pada aqidah Asy’ariyyah, salah satu aqidah didalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah yang beliau bawa sebagai pegangan hidup, meneruskan dari apa-apa yang telah digariskan oleh datuk-datuk beliau para Salaf Bani Alawy.
Sifat-sifat mulia beliau
Sedangkan mengenai sifat-sifat beliau, beliau adalah seorang memiliki khasyah (rasa takut) kepada Allah, zuhud terhadap dunia, qana’ah dalam menerima sesuatu, banyak membaca Al-Qur’an dan dzikir. Sebagaimana di masa kecilnya, beliau selalu tekun melakukan shalat di Masjid Al-Mubarak dan disana beliau selalu bertindak sebagai imam. Salah satu kebiasaan yang sering beliau lakukan adalah beliau tidak keluar dari masjid setelah menunaikan shalat Subuh, kecuali setelah datangnya waktu isyraq (terbitnya matahari). Begitu juga dengan shalat-shalat sunnah yang selalu beliau kerjakan. Hal ini berlangsung terus meskipun beliau sudah memasuki masa tuanya.
Wafat beliau
Di akhir hayatnya, majlis beliau adalah sebuah majlis ilmu yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan, majlis yang penuh akhlak dan adab, majlis yang penuh anwar dan asrar, taman ilmu dan hikmah, penuh dengan dzikir dan doa. Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah SWT untuk menghadap-Nya, dalam usianya 110 tahun. Beliau wafat pada hari Sabtu, tanggal 24 Rabi’ul Tsani 1399 H (24 Maret 1979 M), sekitar pukul 3 sore. Jasad beliau disemayamkan di pekuburan Condet (depan Al-Hawi), Jakarta.
Derai tangis mengiringi kepergian beliau menuju Hadratillah. Al-Habib Husin bin Abdur Rahman Assegaf melantunkan syair perpisahan dengan beliau, yang diantara baitnya berbunyi:
Keindahan ufuk itu telah hilang dan pancaran cahaya bintang itu telah pergi.
Ia menerangi kami beberapa saat dan setelah habisnya malam, ia pun berlalu dan pergi.
Itulah Al-Faqid Zain yang pernah menerangi zaman dan penunjuk hidayah.
Sungguh beliau adalah pelita bagi ilmu agama dan Al-Qur’an, serta seorang imam, jarang ada yang menyamainya.
Khalifah (penerus) bagi para pendahulunya, beliau berjalan pada atsar dan jejak langkah mereka.
Seorang ulama min ahlillah telah berpulang, akan tetapi ilmu dan akhlaknya akan tetap terus terkenang, menjadi ibrah bagi orang-orang yang mempunyai bashirah.
Radhiyallahu anhu wa ardhah…
Nasab beliau bersandar pada silsilah dzahabiyyah, bersambung dari ayah ke kakek, sampai akhirnya bertemu dengan kakek beliau yang termulia Rasulullah SAW. Adapun perinciannya, beliau adalah:
Al-Habib Al-Allamah Zain bin Abdullah bin Alwi bin Umar bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ali bin Abdullah bin Ahmad Ash-Shalaibiyyah bin Husin bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al-Aidrus bin Abu Bakar As-Sakran bin Abdur Rahman As-Saggaf bin Muhammad Maulad Dawilah bin Ali Shahib Ad-Dark bin Alwi bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa bin Ali Al-’Uradhy bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin, putri Sayyidah Fatimah binti Rasulullah SAW.
Beliau Al-Habib Zain tumbuh dalam suatu keluarga yang penuh keutamaan, ilmu dan akhlak, mencontoh keluarga datuk beliau Rasulullah SAW. Al-Habib Abdullah, ayah beliau, mencurahkan perhatian yang lebih kepada beliau diantara saudara-saudaranya, karena selain beliau adalah anak yang terakhir, juga beliau adalah anak yang berperilaku yang mulia dan berhati bersih. Dan sungguh Al-Habib Abdullah melihat dengan firasat tajamnya bahwa putra beliau yang satu ini akan menjadi seorang yang mempunyai hal (keadaan) yang tinggi di suatu masa mendatang.
Beliau Al-Habib Zain tumbuh dewasa dan dicintai oleh keluarganya dan masyarakat As-Suweiry. Beliau habiskan masa kecil beliau dengan penuh kezuhudan dan ibadah. Beliau semenjak kecilnya gemar sekali menjaga kewajiban shalat dan menunaikan shalat-shalat sunnah. Suatu kegemaran yang jarang sekali dipunyai oleh anak-anak sebaya beliau.
Perjalanan hijrah beliau
Pada tahun 1301 H, beliau melakukan perjalanan hijrah ke Indonesia, disertai saudara-saudaranya Alwi, Ahmad dan Ali. Pada saat itu beliau masih berusia 12 tahun. Di Indonesia beliau bertemu dengan pamannya Al-Allamah Al-Habib Muhammad bin Alwi Al-Aidrus yang sudah terlebih dahulu menetap disana.
Masa belajar beliau
Sebelum beliau berhijrah ke Indonesia, beliau banyak mengambil ilmu dari keluarganya, dan juga dari para ulama di tempat asalnya Hadramaut, yang memang terkenal pada saat itu dengan negeri yang penuh dengan ulama-ulama besar. Dari daerah tersebut, beliau banyak mengambil berbagai macam ilmu-ilmu agama.
Setelah berada di Indonesia, beliau menuntut ilmu kepada pamannya Al-Habib Muhammad. Setelah dirasakan cukup, beliau Al-Habib Zain dikirim oleh pamannya untuk menuntut ilmu kepada salah seorang mufti terkenal di Indonesia saat itu, yaitu Al-Habib Al-Faqih Al-Allamah Utsman bin Abdullah Bin Yahya. Guru beliau Al-Habib Utsman Bin Yahya merupakan salah seorang tokoh agama yang cukup mumpuni di bidang fiqih dan ilmu-ilmu keislaman saat itu. Banyak diantara para murid Al-Habib Utsman yang menjadi ulama-ulama besar, seperti Al-Habib Ali bin Abdur Rahman Alhabsyi, Kwitang.
Hiduplah beliau Al-Habib Zain dibawa didikan gurunya Al-Habib Utsman Bin Yahya. Sebagaimana masa kecilnya, semangat beliau seakan tak pupus untuk belajar dengan giat dan tekun. Banyak ilmu yang diambil beliau dari gurunya, diantaranya adalah ilmu-ilmu bahasa Arab, Fiqih, Fara’idh (ilmu waris), Ushul, Falak, dan sebagainya. Beliau mengambil dari gurunya ilmu dan amal dan beliau banyak mendapatkan ijazah dari gurunya tersebut.
Masa dakwah beliau
Pada tahun 1322 H, berdirilah sebuah sekolah agama di kota Jakarta yang dinamakan Jamiat Khair. Beberapa pengurus dari sekolah itu kemudian datang kepada beliau untuk memintanya mengajar disana. Akhirnya mengajarlah beliau disana dengan kesungguhan, tanpa lelah dan bosan. Pada saat itu beliau merupakan salah seorang staf pengajar kurun waktu pertama sekolah Jamiat Khair, suatu sekolah yang banyak menghasilkan tokoh-tokoh agama dan pergerakan.
Selang beberapa tahun kemudian, beliau mendirikan sebuah sekolah kecil di jalan Gajah Mada, Jakarta. Keberadaan sekolah itu disambut dengan gembira oleh masyarakat, yang sangat butuh akan ilmu-ilmu agama. Akan tetapi sayangnya, tak selang berapa lama, dengan kedatangan Jepang, sekolah tersebut ditutup oleh penjajah Jepang.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1326 H, beliau mendirikan majlis taklim di Masjid Al-Mubarak, Krukut, Jakarta. Majlis taklim tersebut diadakan siang dan malam, dan banyak dihadiri pria dan wanita. Sepeninggal pamannya Al-Habib Muhammad, beliaulah yang menjadi khalifah-nya. Termasuk juga beliau menjadi imam di Masjid tersebut, menggantikan posisi pamannya. Di masjid itu, beliau mengajarkan ilmu-ilmu agama, diantaranya ilmu Tafsir, Fiqih, Akidah yang lurus, dan ilmu-ilmu lainnya, dengan cara yang mudah dan sederhana. Begitulah seterusnya beliau menjalankan aktivitasnya dalam berdakwah, tanpa lelah dan bosan, selama 70 tahun.
Suluk beliau
Sebagaimana thariqah yang dipegang oleh para Datuk beliau, beliau bermadzhabkan kepada Al-Imam Asy-Sy-Syafi’i dan bersandarkan pada aqidah Asy’ariyyah, salah satu aqidah didalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah yang beliau bawa sebagai pegangan hidup, meneruskan dari apa-apa yang telah digariskan oleh datuk-datuk beliau para Salaf Bani Alawy.
Sifat-sifat mulia beliau
Sedangkan mengenai sifat-sifat beliau, beliau adalah seorang memiliki khasyah (rasa takut) kepada Allah, zuhud terhadap dunia, qana’ah dalam menerima sesuatu, banyak membaca Al-Qur’an dan dzikir. Sebagaimana di masa kecilnya, beliau selalu tekun melakukan shalat di Masjid Al-Mubarak dan disana beliau selalu bertindak sebagai imam. Salah satu kebiasaan yang sering beliau lakukan adalah beliau tidak keluar dari masjid setelah menunaikan shalat Subuh, kecuali setelah datangnya waktu isyraq (terbitnya matahari). Begitu juga dengan shalat-shalat sunnah yang selalu beliau kerjakan. Hal ini berlangsung terus meskipun beliau sudah memasuki masa tuanya.
Wafat beliau
Di akhir hayatnya, majlis beliau adalah sebuah majlis ilmu yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan, majlis yang penuh akhlak dan adab, majlis yang penuh anwar dan asrar, taman ilmu dan hikmah, penuh dengan dzikir dan doa. Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah SWT untuk menghadap-Nya, dalam usianya 110 tahun. Beliau wafat pada hari Sabtu, tanggal 24 Rabi’ul Tsani 1399 H (24 Maret 1979 M), sekitar pukul 3 sore. Jasad beliau disemayamkan di pekuburan Condet (depan Al-Hawi), Jakarta.
Derai tangis mengiringi kepergian beliau menuju Hadratillah. Al-Habib Husin bin Abdur Rahman Assegaf melantunkan syair perpisahan dengan beliau, yang diantara baitnya berbunyi:
Keindahan ufuk itu telah hilang dan pancaran cahaya bintang itu telah pergi.
Ia menerangi kami beberapa saat dan setelah habisnya malam, ia pun berlalu dan pergi.
Itulah Al-Faqid Zain yang pernah menerangi zaman dan penunjuk hidayah.
Sungguh beliau adalah pelita bagi ilmu agama dan Al-Qur’an, serta seorang imam, jarang ada yang menyamainya.
Khalifah (penerus) bagi para pendahulunya, beliau berjalan pada atsar dan jejak langkah mereka.
Seorang ulama min ahlillah telah berpulang, akan tetapi ilmu dan akhlaknya akan tetap terus terkenang, menjadi ibrah bagi orang-orang yang mempunyai bashirah.
Radhiyallahu anhu wa ardhah…
Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid
Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid adalah seorang wali qutub yang lebih dikenal dengan nama Habib Sholeh Tanggul, ulama karismatik yang berasal dari Hadramaut pertama kali melakukan dakwahnya ke Indonesia sekitar tahun 1921 M dan menetap di daerah Tanggul, Jember, Jawa Timur. Habib Sholeh lahir tahun 1313 H di kota Korbah, ayahnya bernama Muhsin bin Ahmad juga seorang tokoh ulama dan wali yang sangat di cintai masyarakat, Ibunya bernama Aisyah ba Umar.
Sejak kecil Habib Sholeh gemar sekali menuntut ilmu, beliau banyak belajar dari ayahandanya yang memang seorang Ahli ilmu dan Tasawuf, berkat gembelengan dan didikan dari ayahnya Habib sholeh memilki kegelisahan batiniyah yang rindu akan Allah Swt dan rindunya Kepada Rasulullah Saw, akhirnya beliau melakukan "Uzlah" ( Mengasingkan diri) selama hampir 7 tahun. Sepanjang waktu selama mengasingkan diri Habib Sholeh memperbanyak membaca al quran, dzikir dan membaca Sholawat. Hingga akhirnya Habib Sholeh Di datangi oleh tokoh Ulama yang juga wali qutub Habib Abu bakar bin Muhammad As Segaf dari Gresik, Habib Sholeh di beri sorban hijau dimana sorban tersebut dari Rasulullah Saw dan ini menurut Habib Abu bakar As Segaf adalah suatu isyarat bahwa gelar wali qutub yang selama ini di sandang oleh habib Abubakar Assegaf akan diserahkan Kepada Habib Sholeh Bin Muhsin. Namun Habib sholeh Tanggul merasa bahwa dirinya merasa tidak pantas mendapat gelar Kehormatan tersebut. Sepanjang Hari habib Sholeh tanggul menangis memohon kepada Allah Swt agar mendapat Petunjuknya.
Dan suatu ketika habib Abu Bakar Bin Muhammad assegaf Gresik mengundang Habib sholeh tanggul untuk berkunjung kerumahnya, setelah tiba dirumah habib Abu Bakar Bin Muhammad As Segaf menyuruh Habib Sholeh Tanggul untuk mandi di sebuah kolam milik Habib Abu bakar Assegaf, setelah mandi habib Sholeh tanggul di beri ijazah dan dipakaikan Sorban kepadanya. Dan hal tersebut merupakan isyarat Bahwa habib Abu Bakar Bin Muhammad Assegaf telah memberikan Amanat kepada Habib sholeh tanggul untuk melanjutkan dakwah kepada masyrakat.
Habib Sholeh mulai melakukan berbagai aktifitas dakwahnya kepada masyarakat, dengan menggelar berbagai Pengajian- pengajian. Kemahiran beliau dalam penyampaian dakwahnya kepada masyarakat membuat beliau sangat dicintai, dan Habib sholeh mulai dikenal dikalangan Ulama dan habaib karena derajat keimuan serta kewaliaan yang beliau miliki. Habib sholeh tanggul sering mendapat kunjungan dari berbagai tokoh ulama serta habaib baik sekedar untuk bersilahturahmi ataupun untuk membahas berbagai masalah keaganmaan, bahkan para ulama serta habaib di tanah air selalu minta didoakan karena menurut mereka doa Habib sholeh tanggul selalu di kabulkan oleh allah Swt. Pernah suatu ketika habib Sholeh tanggul berpergian dengan habib Ali bin Abdurrahman Al habsy, Kwitang dan Habib ali bin Husin, Bungur, didalam perjalanan, Beliau melihat kerumunan warga yang sedang melaksanakan sholat Istisqo' ( Sholat minta hujan ) karena musim kemarau yang berkepanjangan, lalu Habib sholeh Memohon kepada allah Untuk menurunkan Hujan maka seketika itupula hujan turun. Beliau berpesan kepada jamaah majlis taklimnya apabila doa-doa kita ingin dikabulkan oleh Allah Swt jangan sekali-kali kita membuat allah murka dengan melakukan maksiyat, muliakan orang tua mu dan beristiqomalah dalam melaksanakan sholat subuh berjama'ah.
Habib Sholeh meninggal pada tanggal 7 Syawal 1396 H atau sekitar tahun 1976 M, hingga sekarang karamah beliau yang tampak setelah beliau meninggal adalah bahwa makam beliau tidak pernah sepi dari para jamaah yang datang dari berbagai daerah untuk berziarah, Terlebih lagi pada waktu perayaan haul beliau yang diadakan setiap hari kesepuluh di bulan syawal, ribuan orang akan tumpah ruah ke jalan untuk memperingati haul beliau.
Sejak kecil Habib Sholeh gemar sekali menuntut ilmu, beliau banyak belajar dari ayahandanya yang memang seorang Ahli ilmu dan Tasawuf, berkat gembelengan dan didikan dari ayahnya Habib sholeh memilki kegelisahan batiniyah yang rindu akan Allah Swt dan rindunya Kepada Rasulullah Saw, akhirnya beliau melakukan "Uzlah" ( Mengasingkan diri) selama hampir 7 tahun. Sepanjang waktu selama mengasingkan diri Habib Sholeh memperbanyak membaca al quran, dzikir dan membaca Sholawat. Hingga akhirnya Habib Sholeh Di datangi oleh tokoh Ulama yang juga wali qutub Habib Abu bakar bin Muhammad As Segaf dari Gresik, Habib Sholeh di beri sorban hijau dimana sorban tersebut dari Rasulullah Saw dan ini menurut Habib Abu bakar As Segaf adalah suatu isyarat bahwa gelar wali qutub yang selama ini di sandang oleh habib Abubakar Assegaf akan diserahkan Kepada Habib Sholeh Bin Muhsin. Namun Habib sholeh Tanggul merasa bahwa dirinya merasa tidak pantas mendapat gelar Kehormatan tersebut. Sepanjang Hari habib Sholeh tanggul menangis memohon kepada Allah Swt agar mendapat Petunjuknya.
Dan suatu ketika habib Abu Bakar Bin Muhammad assegaf Gresik mengundang Habib sholeh tanggul untuk berkunjung kerumahnya, setelah tiba dirumah habib Abu Bakar Bin Muhammad As Segaf menyuruh Habib Sholeh Tanggul untuk mandi di sebuah kolam milik Habib Abu bakar Assegaf, setelah mandi habib Sholeh tanggul di beri ijazah dan dipakaikan Sorban kepadanya. Dan hal tersebut merupakan isyarat Bahwa habib Abu Bakar Bin Muhammad Assegaf telah memberikan Amanat kepada Habib sholeh tanggul untuk melanjutkan dakwah kepada masyrakat.
Habib Sholeh mulai melakukan berbagai aktifitas dakwahnya kepada masyarakat, dengan menggelar berbagai Pengajian- pengajian. Kemahiran beliau dalam penyampaian dakwahnya kepada masyarakat membuat beliau sangat dicintai, dan Habib sholeh mulai dikenal dikalangan Ulama dan habaib karena derajat keimuan serta kewaliaan yang beliau miliki. Habib sholeh tanggul sering mendapat kunjungan dari berbagai tokoh ulama serta habaib baik sekedar untuk bersilahturahmi ataupun untuk membahas berbagai masalah keaganmaan, bahkan para ulama serta habaib di tanah air selalu minta didoakan karena menurut mereka doa Habib sholeh tanggul selalu di kabulkan oleh allah Swt. Pernah suatu ketika habib Sholeh tanggul berpergian dengan habib Ali bin Abdurrahman Al habsy, Kwitang dan Habib ali bin Husin, Bungur, didalam perjalanan, Beliau melihat kerumunan warga yang sedang melaksanakan sholat Istisqo' ( Sholat minta hujan ) karena musim kemarau yang berkepanjangan, lalu Habib sholeh Memohon kepada allah Untuk menurunkan Hujan maka seketika itupula hujan turun. Beliau berpesan kepada jamaah majlis taklimnya apabila doa-doa kita ingin dikabulkan oleh Allah Swt jangan sekali-kali kita membuat allah murka dengan melakukan maksiyat, muliakan orang tua mu dan beristiqomalah dalam melaksanakan sholat subuh berjama'ah.
Habib Sholeh meninggal pada tanggal 7 Syawal 1396 H atau sekitar tahun 1976 M, hingga sekarang karamah beliau yang tampak setelah beliau meninggal adalah bahwa makam beliau tidak pernah sepi dari para jamaah yang datang dari berbagai daerah untuk berziarah, Terlebih lagi pada waktu perayaan haul beliau yang diadakan setiap hari kesepuluh di bulan syawal, ribuan orang akan tumpah ruah ke jalan untuk memperingati haul beliau.
Senin, 11 April 2011
Ahlan Habib Umar Bin Hafidz: Makna Moderatisme
Moderat bukan sekadar bersikap lunak atau sekadar bersikap proporsional dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain. Pengertian moderat lebih luas dari itu.
Dari berbagai penuturannya dalam berdakwah, orang mengenal Habib Umar Bin Hafidz sebagai ulama yang moderat. Dalam kitabnya, Qubsatunnur, Habib Abubakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur menggambarkan sosoknya dengan mengatakan, “Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh, yang, dengannya dan dengan semangatnya, Allah menjaga ruh dakwah dan sirr thariqah yang berkah ini, terutama pada episode gelap dalam sejarah Hadhramaut. Para pengikut manhaj salaf bersatu di sekelilingnya.
Melalui dakwahnya, hakikat pemahaman yang sempurna akan kemuliaan dakwah dan dalam mengikuti metode salafush shalih tertanam dengan kuat pada generasi masa kini. Ia telah mengembalikan cahaya kemilau madrasah Hadhramaut di berbagai bidang.”
Seperti biasa, di bulan Muharram, ulama kecintaan umat ini datang ke Indonesia, di antaranya untuk menghadiri peringatan Haul Syaikh Abu Bakar bin Salim di daerah Cidodol, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang tahun ini akan jatuh pada tanggal 26 Desember.
Menyambut kehadirannya yang tak berapa lama lagi, kali ini kami suguhkan di hadapan pembaca pandangannya tentang kemoderatan dalam Islam, sebagaimana yang ia ungkap dalam kitabnya, Al-Wasathiyah fil Islam: “Moderat bukan sekadar bersikap lunak atau sekadar bersikap proporsional dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain. Pengertian moderat lebih luas dari itu. Moderatisme harus ditempatkan sebagai sebuah pemahaman yang benar terhadap hakikat syari’at dalam setiap kedudukannya. Ia merupakan hakikat dari petunjuk-petunjuk Ilahiyah yang telah diterima Rasulullah SAW dari Tuhannya, yang kemudian diamanatkannya untuk disampaikan kepada segenap manusia.
Tidaklah kemaslahatan itu terlepas dari risalah syari’at yang dibawa Rasulullah SAW, baik kemaslahatan di Barat maupun di Timur, bagi orang Arab maupun non-Arab, Eropa, Australia, Amerika, ataupun Afrika. Syari’at Rasulullah SAW memuat semua apa yang dibutuhkan oleh semua mereka, tanpa kecuali, dengan segala pola pikir mereka yang berbeda-beda.
Dengan demikian, keteguhan seseorang terhadap agamanya, kedalamannya dalam memahami agamanya, serta upayanya untuk mengamalkan ajaran-ajaran agamanya, merupakan gambaran dari hakikat kemoderatan dan perilaku beragama yang lurus.
Pemahaman yang buruk dan ekstrem berada di luar jalan yang lurus dan moderat, demikian pula sikap lalai dan ceroboh, tidak peduli dengan hukum-hukum Tuhan, Yang Mahabenar. Sehingga, sikap moderat harus terlepas dari dua kutub yang sama-sama tercela, yaitu sikap ekstrem dan keterlaluan atau sikap lalai dan ceroboh.
Bila kemoderatan hilang, hilang pulalah pemahaman yang benar terhadap hakikat-hakikat agama.” Masih banyak lagi kalimat yang menarik yang ia ungkapkan untuk memperkuat penjelasannya akan makna moderat
Dari berbagai penuturannya dalam berdakwah, orang mengenal Habib Umar Bin Hafidz sebagai ulama yang moderat. Dalam kitabnya, Qubsatunnur, Habib Abubakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur menggambarkan sosoknya dengan mengatakan, “Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh, yang, dengannya dan dengan semangatnya, Allah menjaga ruh dakwah dan sirr thariqah yang berkah ini, terutama pada episode gelap dalam sejarah Hadhramaut. Para pengikut manhaj salaf bersatu di sekelilingnya.
Melalui dakwahnya, hakikat pemahaman yang sempurna akan kemuliaan dakwah dan dalam mengikuti metode salafush shalih tertanam dengan kuat pada generasi masa kini. Ia telah mengembalikan cahaya kemilau madrasah Hadhramaut di berbagai bidang.”
Seperti biasa, di bulan Muharram, ulama kecintaan umat ini datang ke Indonesia, di antaranya untuk menghadiri peringatan Haul Syaikh Abu Bakar bin Salim di daerah Cidodol, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang tahun ini akan jatuh pada tanggal 26 Desember.
Menyambut kehadirannya yang tak berapa lama lagi, kali ini kami suguhkan di hadapan pembaca pandangannya tentang kemoderatan dalam Islam, sebagaimana yang ia ungkap dalam kitabnya, Al-Wasathiyah fil Islam: “Moderat bukan sekadar bersikap lunak atau sekadar bersikap proporsional dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain. Pengertian moderat lebih luas dari itu. Moderatisme harus ditempatkan sebagai sebuah pemahaman yang benar terhadap hakikat syari’at dalam setiap kedudukannya. Ia merupakan hakikat dari petunjuk-petunjuk Ilahiyah yang telah diterima Rasulullah SAW dari Tuhannya, yang kemudian diamanatkannya untuk disampaikan kepada segenap manusia.
Tidaklah kemaslahatan itu terlepas dari risalah syari’at yang dibawa Rasulullah SAW, baik kemaslahatan di Barat maupun di Timur, bagi orang Arab maupun non-Arab, Eropa, Australia, Amerika, ataupun Afrika. Syari’at Rasulullah SAW memuat semua apa yang dibutuhkan oleh semua mereka, tanpa kecuali, dengan segala pola pikir mereka yang berbeda-beda.
Dengan demikian, keteguhan seseorang terhadap agamanya, kedalamannya dalam memahami agamanya, serta upayanya untuk mengamalkan ajaran-ajaran agamanya, merupakan gambaran dari hakikat kemoderatan dan perilaku beragama yang lurus.
Pemahaman yang buruk dan ekstrem berada di luar jalan yang lurus dan moderat, demikian pula sikap lalai dan ceroboh, tidak peduli dengan hukum-hukum Tuhan, Yang Mahabenar. Sehingga, sikap moderat harus terlepas dari dua kutub yang sama-sama tercela, yaitu sikap ekstrem dan keterlaluan atau sikap lalai dan ceroboh.
Bila kemoderatan hilang, hilang pulalah pemahaman yang benar terhadap hakikat-hakikat agama.” Masih banyak lagi kalimat yang menarik yang ia ungkapkan untuk memperkuat penjelasannya akan makna moderat
Langganan:
Postingan (Atom)